Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ETIKA BERBICARA DALAM ISLAM

Manusia adalah makhluk sosial, itu berarti, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, tentu manusia tidak akan pernah lepas dari interaksi sosial. Karena mustahil suatu kehidupan dapat berjalan tanpa adanya suatu interaksi sosial. Itu semua merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi sosial sendiri adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok atau bisa juga kelompok dengan kelompok, disebabkan oleh suatu kebutuhan dan hubungan tersebut dapat mempengaruhi satu sama lain.
ETIKA BERBICARA DALAM ISLAM
Bentuk dari interaksi sosial sangat beragam, yang paling mudah dan paling sering dilakukan adalah berbicara. Menurut pakar komunikasi, 70% dari waktu bangun manusia digunakan untuk berbicara. Berbicara bukan hanya mengeluarkan suara/bunyi, tapi berbicara merupakan salah satu bentuk interaksi yang bertujuan untuk bertukar pikiran, ide,  gagasan, atau untuk menyampaikan suatu pesan  tertentu. Berbicara yang baik adalah yang efektif, sesuai etika, dan tidak menimbulkan interpretasi ganda antara kedua belah pihak.

Islam, sebagai agama yang sempurna, telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial manusia. Mulai dari hal yang kecil seperti etika makan, minum, atau berpakaian termasuk etika berbicara, sampai hal yang besar seperti bermuamalah antar sesama umat, dll

Seperti firman Allah swt dalam “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49]:13). Allah menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan, perbedaan suku, bangsa, ras, warna kulit, karakter, dan watak dimaksudkan agar terjalin interaksi diantara mereka.
Karena berbicara merupakan bentuk interaksi yang paling mudah dan paling sering dilakukan, tidak sedikit orang yang melakukannya tanpa memperhatikan etika dan pada akhirnya banyak yang celaka atau tersandung masalah karenanya. Berbicara tanpa etika juga dapat menyebabkan  perpecahan dan permusuhan. Islam telah mengingatkan umatnya agar hati-hati dan memperhatikan etika dalam berbicara. Adapun  berbicara yang dianjurkan oleh islam seperti berikut :

Berbicara hanya untuk kebaikan (ma’ruf)
Ini berarti, seorang muslim harus menjaga lisannya ketika berbicara. Tidak berbicara yang bathil, dusta, menggunjing atau ghibah, mengadu domba, atau melontarkan ucapan yang kotor, sebab kata-kata mempunyai dampak yang sangat luar biasa. Kita dapat berkaca pada keberhasilan da’wah Rasulullah SAW berkat kata-katanya yang sungguh mengajak kepada kebaikan dan mengugah hati, sehingga menarik orang-orang saat itu untuk masuk islam. Dan juga berdasarkan potongan hadits nabi “sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi orang lain”.
Berbicara yang baik, benar, berkualitas, dan tidak mendebat
Sebagaimana hadits Nabi SAW “ Barangsiapa beriman kepadaku, Allah, dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam” {HR Bukhari Muslim]. Berkata yang baik harus disertai dengan kerendahan hati, kepada yang tua menghormati tanpa sombong, kepada yang lebih muda tawadhu tanpa merasa terhina.
Integritas  seseorang salah satunya dapat dilihat dari  perkataannya yang  benar. Berbicara yang benar juga merupakan  salah satu kunci keberhasilan da’wah Rasulullah SAW. Selain itu, kualitas dari perkataan seseorang juga mencerminkan tingkat ilmu yang dimiliki orang tersebut.
Berkata benar juga harus diterapkan  saat bercanda atau bersenda gurau. Kita tidak boleh menambah-nambahkan  suatu cerita hanya untuk membuat orang lain tertawa. Hal ini berdasarkan hadits nabi “ Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia, celakalah dia!” [HR Abu Daud]

Selain dianjurkan untuk berbicara yang benar, baik, berkualitas, Islam juga menganjurkan untuk menghindari perdebatan. Perdebatan merupakan kelanjutan dari perselisihan atau pertikaian. Perdebatan juga bisa terjadi saat seseorang mendapat kritik dari orang lain. Seseorang yang cenderung sensitif terhadap kritikan, akan menganggap dirinya diserang sehingga berdebat untuk membela dirinya, dan orang yang seperti itu akan mudah tersulut emosinya. Sensitif terhadap kritik juga merupakan salah satu penyebab komunikasi tidak berjalan dengan lancar. Pada orang yang seperti itu, pembicaraan yang sedikit saja menyinggung kesalahan-kesalahannya, akan dianggapnya sebagai kritikan. Padahal mungkin saja lawan bicaranya tidak bermaksud untuk mengkritisi. Ini bisa menyebabkan kedua belah pihak tidak dapat mendiskusikan dengan baik penyelesaian terhadap hal-hal yang sedang mereka hadapi.

Di era demokrasi seperti saat ini, perdebatan adalah hal yang lumrah. Pada sebagian kasus, perdebatan yang bertujuan untuk menyampaikan suatu kebenaran atau argumentasi tertentu memang dibenarkan. Tapi perdebatan yang tidak penting, hanya berdasarkan kepada ego masing-masing pihak, pendapat dan keilmuannya ingin diakui, hanya akan menimbulkan perpecahan semata dan tidak ada manfaatnya. Sebagaimana potongan hadits nabi “ Saya adalah penjamin di rumah disekeliling surga, bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia benar”.

Selain itu, pengertian dari berbicara yang benar adalah yang tidak menggunjing atau ghibah, dusta, dan adu domba. 3 hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan diantara manuasia. Kita juga tidak boleh membicarakan semua yang didengar, sebab yang didengar itu belum tentu semuanya benar dan bisa menjadi dosa.
Berbicara lemah lembut, seperlunya, dan tidak memaksakan.
Intonasi dan retorika atau gaya bahasa dalam berbicara juga perlu diperhatikan. Intonasi dan retorika yang tidak tepat akan menimbulkan kesalahpahaman bagi lawan bicara dan bisa menyulut emosi. Bahkan, dalam menegur sekalipun, berbicara harus tetap lembut agar yang ditegur menerima teguran yang diberikan.

Berbicara juga harus seperlunya, agar tidak mendekati kepada dusta dan ghibah juga jangan memaksakan, artinya kita jangan berpura-pura mengerti suatu persoalan yang bukan kapasitas kita. Jika diteruskan, pembicaraan yang seperti itu bisa menimbulkan dusta, atau salah persepsi.

Oleh karena itu, hendaknya kita menjaga setiap perkataan yang dilontarkan. Selain untuk terciptanya komunikasi yang efektif, tidak menghadirkan interpretasi ganda dan kesalahpahaman, berbicara dengan etika yang baik juga dapat meningkatkan keharmonisan hubungan antar umat, sehingga tercipta kerukunan. Bayangkan, jika semua orang di dunia ini menjaga etika dalam berbicaranya, mungkin tidak akan terjadi tawuran antar pelajar, antar kampung, antar suku, bahkan antar Negara.