Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH

Hukum Wanita Hamil di Luar Nikah

Bahwa dalam hukum Islam orang yang melakukan zina terkena hukumam had. Secara umum hukuman had ini tergantung siapa pelakuknya. Bisa dengan rajam, atau dengan jild (dera) dan pengasingan. Jika zinanya masuk kategori zina muhshan maka hukuman hadnya adalah dengan rajam. Namun jika ternyata ia hamil maka pelaksanaan rajam itu setelah melahirkan bayinya.

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَامِلَ لاَ تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ

“Ibnu al-Mundzir berkata; para ulama telah sepakat bahwa orang hamil tidak dirajam sampai ia melahirkan”. (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Dar as-Salasil, cet ke-1, 1404 H, juz, 22, h. 126)

Sedang jika zina masuk kategori ghairu muhshan artinya pelakunya adalah orang yang belum menikah (perjaka atau gadis, dan telah memenuhi ketentuan yang berlaku) maka hukuman hadnya adalah dengan didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan boleh saja diasingkan dulu baru kemudian didera. Hal ini sebagaimana keterangan yang kami pahami terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar berikut ini;

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا تَرْتِيبَ بَيْنَ الْجِلْدِ وَالتَّغْرِيبِ فَيُقَدَّمُ مَا شَاءَ مِنْهُمَا

“Ketahuilah, bahwa tidak ada aturan harus tertib di antara dera dan pengasingan, karenanya maka boleh salah satu di antara keduanya boleh didahulukan”. (Taqiyyuddin Abi Bakr al-Husaini al-Hishni asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-Ilm, tt, juz, 2, h. 143)

Namun untuk menentukan seseorang dikatakan berzina sehingga layak mendapatkan had zina tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jika ada seorang perempuan yang hamil, padahal tidak bersuami maka harus dibuktikan dulu apakah kehamilannya karena berbuat zina atau karena hal lain seperti diperkosa. Yang harus kita lakukan adalah jangan terburu-buru memvonis ia telah melakukan zina dengan seorang laki-laki jika memang kita tidak memiliki bukti yang kuat.

HUKUM WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH

Dalam hukum Islam, seseorang dikatakan berzina harus dibuktikan terlebih dahulu dengan bukti yang kuat, bisa dengan menghadirkan empat orang saksi laki-laki, atau bisa juga dengan adanya pengkuan dari pihak pelakunya sendiri sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah saw.

Sedang mengenai saksi haruslah orang yang adil. Dan di zaman sekarang sangat susah mencari orang yang adil. Di samping dari sisi person, ada juga syarat yang harus yang harus dipenuhi dalam kesakasian tersebut. Di antara syarat yang disepakati para ulama adalah bahwa kesaksian tersebut

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شُرُوطِ هَذِهِ الشَّهَادَةِ أَنْ تَكُونَ بِمُعَايَنَةِ فَرْجِهِ فِي فَرْجِهَا وَأَنْ تَكُونَ الشَّهَادَةُ بِالتَّصْرِيحِ لَا بِالْكِنَايَةِ

“Para ulama sepakat bahwa di antara syarat kesaksian ini ialah dengan melihat secara langsung alat vital pihak laki-laki masuk ke lubang vagina pihak perempuan, dan kesaksian tersebut harus diungkapkan dengan bahasa yang jelas (tashrih) tidak dengan bahasa sindirin (kinayah)”. (Abdurraham al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 5, h. 29 )

Pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan di sini adalah, apakah kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa ia telah melakukan zina sehingga ia harus dihad? Mayoritas pakar hukum Islam menyatakan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak punya suami tidak dengan serta merta menunjukkan ia berbuat zina sehingga harus dihad.

وَإِذَا ظَهَرَ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ حَمْلٌ لَا زَوْجَ لَهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ الَّتِي لَا يُعْرَفُ لَهَا زَوْجٌ وَتَقُولُ أُكْرِهْتُ ، أَوْ وُطِئْتُ بِشُبْهَةٍ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا حَدٌّ كَمَا قَالَهُ : أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ فِي أَظْهَرِ رِوَايَتَيْهِ

“Apabila tampak adanya kehamilan pada seorang perempuan merdeka yang tidak bersuami, begitu juga budak yang tidak bersuami, dan ia mengatakan saya dipaksa atau saya disetubuhi dengan persetubuhan syubhat maka ia tidak wajib dihad. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh imam Abu Hanifah, imam Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal menurut dalam riwayatnya yang adhhar” (Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, 5, h. 15)

Pandangan ini mengandaikan bahwa kehamilan seorang perempuan yang tidak memiliki suami belum tentu akibat dari perbuatan zina, tetapi bisa jadi karena ia dipaksa, diperkosa, atau karena ia mengalami wathi syubhat. Ini artinya kehamilan itu masih mengandung pelbagai kemungkinan. Sedangkan sesuatu yang mengandung pelbagai kemungkinan tidak bisa dijadikan sebagai bukti utama untuk menentukan sebuah ketetapan hukum.

Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban yang dapat kami ketengahkan untuk menjawab pertanyaaan di atas adalah bahwa status hukum perempuan yang hamil dan tidak mempunyai suami sampai ia melahirkan anaknya dalam hukum Islam belum tentu disebut sebagai pezina yang berhak mendapat hukumam had. Bahkan seandainya ia benar-benar melakukan zina, ia tetap disunnahkan untuk menutupinya, bahkan ada pendapat yang mewajibkannya. Sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam Rubrik Bahtsul Masail yang dimuat pada tanggal 12/2/2015. 

Ia baru bisa dikatakan sebagai pelaku zina dan berhak mendapatkan hukuman had jika memang telah terpenuhi buktinya, seperti kesaksian empat orang laki-laki yang adil yang melihat dengan jelas kejadiannya, atau atas dasar pengakuannya.

Apabila memang ia telah tebukti, maka dalam hukum Islam ia berhak mendapatkan had. Sedang hadnya adalah didera seratus kali kemudian diasingkan. Jika ia adalah orang yang belum pernah menikah (zina ghairu muhshan), namun jika ia janda, maka dirajam (zina muhshan).  

Lantas siapakah yang melaksanakan hukuman tersebut? Negara adalah pelaksananya sehingga masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Namun di negara kita hukumam had zina sampai hari belum diberlakukan. Karenanya, yang terbaik adalah dengan memintanya untuk segera bertaubat. Biarlah apa yang ia lakukan menjadi urusannya dengan Allah swt.