MENDIDIK ANAK DENGAN HATI (EDUCATE CHILDREN WITH HEART)
Keberhasilan pendidikan, khususnya di Sekolah tidak hanya ditentukan oleh kemahiran guru dalam mengajar. Namun lebih kepada bagaimana ia mendidik para siswanya. Guru yang baik adalah seseorang yang bisa mengajar sekaligus bisa mendidik para siswanya. Dengan kemampuannya untuk mengajar dan mendidik secara baik, akan dihasilkan anak-anak yang tidak hanya pandai secara intelektual, namun juga secara akhlak dan keimanan. Pada akhirnya akan menghasilkan generasi penerus yang arif dan bijaksana.
Mengajar hanya terbatas pada pemberian materi atau bahan ajar, sedangkan mendidik lebih kepada bagaimana sikap dan perilaku guru dalam keseharian. Ia akan menjadi model atau figur teladan bagi peserta didik. Oleh karena itu, mengajar itu penting, namun lebih penting lagi adalah kegiatan mendidik. Mengajar lebih mengarah kepada bagaimana membangun kecerdasan pikiran manusia; membangun manusia-manusia yang pandai secara intelektual. Kegiatan mendidik lebih condong kepada proses bagaimana menyadarkan peserta didik dapat mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan sosial. Penyadaran itu tidak bisa dilakukan melalui pengajaran saja, tetapi terutama lewat pendidikan di mana prinsip keteladanan dari sang guru diberlakukan. Tanpa sebuah keteladanan (melalui kata maupun tindakan) yang baik, seorang siswa yang nakal akan tetap menjadi nakal, bahkan mungkin akan semakin nakal.
Sebagai pendidik, tentu pernah merasa tidak suka terhadap sikap peserta didik yang nakal dan selalu membuat masalah (ulah). Namun kita harus sangat berhati-hati dalam mengekspresikan perasaan itu. Kita tidak boleh dengan serta merta membentak apalagi menampar anak seperti itu. Kadangkala, siswa yang nakal dan bermasalah, hanya menjadikan kenakalan itu sebagai alat untuk mencari perhatian dari teman atau gurunya. Di sinilah perlunya keteladanan dari seorang pendidik terutama teladan untuk menunjukkan sikap empati.
Para siswa yang sering membuat masalah, seringkali disebabkan oleh kurangnya perhatian, terutama di lingkungan keluarga. Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan. Mereka menjadi para pekerja angkatan 59. Pukul 05.00 mereka berangkat bekerja, pukul 21.00 mereka baru pulang. Beruntung kalau mereka masih bisa menyisihkan waktu bagi anak. Faktanya, ada banyak orang tua yang tidak sempat mendengarkan anak, dengan alasan sudah terlalu capek bekerja seharian. Oleh karena itu, kesempatan mereka bersama anak-anak sangat kurang. Akibatnya kehidupan anak lebih banyak dihabiskan bersama teman-teman, pembantu, televisi atau bermacam-macam mainan kesukaan. Lalu kepada siapa mereka akan curhat ketika mereka memiliki masalah di Sekolah? Kepada siapa mereka akan menumpahkan perasaannya, ketika merasa dijauhi oleh teman-temannya? Apakah pembantu, televisi dan mainan itu cukup sebagai tempat curhat?
Keadaan seperti ini patut diwaspadai. Jangan sampai anak salah dalam memilih tempat curhat, atau bahkan melampiaskan perasaannya melalui sikap dan tindakan yang kurang terpuji, seperti suka membuat ulah (masalah). Di lain pihak, Pembantu tidak bisa menggantikan posisi orang tua. Kasih orang tua tidak sama dengan kasih pembantu. Acara televisi dan mainan tidak cukup untuk berbagi cerita. Media itu tidak bisa memberikan pendidikan yang memadai bagi anak. Justru sebaliknya, banyak iklan dan acara TV yang tidak mendidik ke arah yang benar. Di sisi lain, kita tidak bisa menyalahkan kondisi di atas. Apalagi sampai menyalahkan orang tua yang karena tuntutan ekonomi harus menjadi pekerja angkatan 59.
Oleh karena itu, peran seorang pendidik dalam menolong siswanya, terutama bagi yang bermasalah sangat diharapkan. Pengabdian yang tanpa pamrih serta sikap empati seorang guru sangat berarti bagi mereka. Berempati adalah sikap peduli kepada orang lain secara nyata, baik dalam kata maupun tindakan. Guru yang berempati adalah sosok yang murah senyum, ramah, lembut tetapi tegas. Ia tidak akan mudah marah kepada siswa yang membuat ulah. Ia akan mencari tahu mengapa siswa itu begitu; solusi apa yang tepat untuk memecahkan masalah itu.
Marah terhadap hal/tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi jangan asal marah. Kalau guru hanya marah-marah dan menyalahkan siswa bermasalah, tanpa memberi perhatian dan solusi tepat, justru akan menambah beban baginya. Guru yang baik harus tetap memberikan pengarahan dan bimbingan serta kasihnya. Dengan demikian, guru benar-benar bisa berperan menjadi orang tua di Sekolah bagi para siswanya. Ia tidak lagi menjadi sosok yang terlihat galak dan menakutkan. Ia justru akan menjadi sahabat bagi nara didiknya.
Tidak berlebihan jika guru dikenal sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang selalu memiliki semangat untuk mengabdi tanpa pamrih. Dalam dirinya terdapat prinsip luhur bahwa menjadi guru adalah panggilan ilahi. Kalau guru adalah pahlawan, maka ia seharusnya mau berjuang bagi banyak orang, terutama bagi siswanya. Ia mencelikkan mata yang buta pengetahuan, membebaskan mereka yang terbelenggu kebodohan serta memberi tuntunan kepada mereka yang tidak tahu arah tujuan. Ini adalah pengabdian besar dan tidak mudah. Guru yang memiliki empati, tidak akan pernah menjadikan Sekolah sebagai lahan bisnis, melainkan lahan perjuangan untuk membangun generasi muda yang arif dan bijaksana. Guru yang baik tidak hanya menguasai bidang pengajarannya, tetapi juga yang sadar akan tugasnya sebagai pendidik. Ia sadar sepenuhnya bahwa siswanya tidak hanya meneladani apa yang ia ajarkan malalui Kegiatan Belajar Mengajar dalam kelas, tetapi terlebih dari sikap dan perilaku sang guru. Berikan hatimu wahai guru, maka ‘kan kau lihat secercah perubahan pada nara didikmu.
Semoga Bermanfaat Bagi Sobat Blogger, Amiin ..