KHITBAH SEBELUM PERNIKAHAN
Khitbah atau Pinangan menurut Syari’at adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan. Bagi laki-laki yang akan meminang seorang perempuan harus dalam ketenanagan dan kemantapan untuk menentukan pilihannya dari semua sisi sehingga setelah meminang tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan dan mengundur pernikahannya tanpa ada sebab; karena hal tersebut menyakiti diri perempuan yang di pinang, merobek perasaan dan melukai kemuliannya dengan sesuatau yang tidak di ridloi Agama dan tidak sesuai dengan budi pekerti yang luhur.
Pinangan tersebut adalah sesuatau yang timbul dari seorang laki-laki yang meminang ketika berniat untuk menikah dengan menjelaskan maksudnya, baik dirinya sendiri atau melalui perantaraan seseorang yang dipercaya dari keluarga atau saudaranya.
HUKUM MEMINANG PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG
Ketika seorang perempuan telah dipinang, maka ia telah menutup diri dari pinangan orang lain, dalam artian tidak satupun seseorang yang diperbolehkan Syari’at untuk meminangnya; karena hal tersebut mejadikan terputusnya ikatan, menumbuhkan kebencian dan permusuhan. Seorang muslim tidak diperkenankan menyaingi dan merebut pinangan yang telah didahului saudara seislamnya kecuali saudaranya telah membatalkan pinangan tersebut dengan tanpa ragu. Ketika ia ragu dalam memutus pinangan, maka wajib meminta izin padanya atas diperbolehkan atau tidaknya meminang pinangan yang ia masih ragu untuk memutusnya.
Sebagaimana Rosulullah melarang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar R.A, Rosulullah SAW bersabda : “tidak di perbolehkan bagi seorang laki-laki meminang seorang wanita yang telah dipinang saudaranya sehingga pinangannya itu dibatalkan sebelumnya atau seorang yang meminang member izin padanya.”(Au kama Qol).
Larangan yang dijelaskan hadits di atas menunjukan terhadap larangan yang berunsur “Haram” menurut pendapat Jumhurul Fuqoha (mayoritas Ulama), di antaranya adalah Imam Syafi’I RA. Beliau berkata: “Arti hadits tersebut adalah ketika seorang laki-laki telah meminang seorang perempuan yang telah rela dan cenderung menerima pinangannya, maka tidak diperbolehkan kepada siapapun untuk meminangnya”.
Adapun ketika seorang perempuan tersebut belum diketahui kerelaan dan kecenderungan menerima pinangan tersebut, maka hukum meminangnya diperbolehkan, dan di antara tanda-tanda dari kerelaan perempuan yang Perawan (Bikr) adalah diamnya, dan Janda (Tsayyib) dengan ucapan iya atau sejenisnya.
HUKUM PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG ADALAH HUKUM PEREMPUAN LAIN (AJNABIYAH)
Hal ini adalah tatak rama Islam dalam sesuatau yang berhubungan dengan diperbolehkannya melihat perempuan yang akan dipinang, namun kebanyakan orang zaman sekarng beranggapan bahwa perempuan yang dipinangnya atau disebut dengan tunangannya sebagai seseorang yang mutlak ia miliki, padahal anggapan tersebut salah; karena Tunangan atau seorang yang telah meminang atau yang telah dipinang itu masih dalam hukum orang lain, masih diharamkan apa saja yang diharamkan terhadap orang lain sebelum resepsi pernikannya dilaksanakan dengan sempurna.
MERAMAIKAN PERNIKAHAN DAN MENYAMARKAN PINANGAN
Dari ungkapan di atas, agama Islam yang lurus menganjurkan untuk menyembunyikan atau tidak meramaikan pinanagan, dalam artian perayaannya dalam batas-batas yang lebih sempit dengan hanya melibatkan anggota keluarga saja tanpa mengadakan acara-acara seperti nasyid dll.
SYABAK
Ada istilah lain dalam bahasa Arab yang sama arti dengan tunangan yaitu “Syabak”, dan hadiyah yang diberikan ketika tunangan baik berbentuk cincin tunangan atau lainnya disebut dengan “Syabkah”. Hal tersebut adalah sesuatu yang baru-baru muncul dan marak di kalangan masyarakat umum di zaman sekarang ini. mereka menambah beban terhadap seseorang yang hendak menikah bahkan mereka bermahal-mahalan dalam masalah syabkah (Hadiah Tunanangan) dan hampir samapi mendahulukan mahar.
Demikian itu bukanlah dari urusan Islam sedikitpun , hanya saja Islam tidak melarang hal tersebut selagi masih dalam batas-batas kemampuan; karena Syari’at bisa menganggap ‘urf (konvensi) atau kebiasaan selagi tidak bertentangan dengan nas-nas Syari’at tersebut.
Tapi harus diperhatikan bahwa seorang laki-laki diharamkan memakai sesuatu yang terbuat dari emas baik berbentuk cincin atau yang lainnya. Cukuplah cincin tunangan yang terbuat dari emas dipakai Tunangan Perempuan saja atau Tunangan laki-laki memakai cincin tunangan selain emas, seperti perak, tembaga dan lain lain tanpa saling memakaikan cincin tunangan tersebut; karena keduanya belumlah halal dalam ikatan pernikahan yang sah.
MEMBATALKAN TUNANGAN
Kadang-kadang setelah bertunagan, terjadi sesuatu yang mendatangkan terhadap batalnya tunangan. Dalam hal ini mengembalikan syabkah ( hadiah tunangan) secara utuh itu hukumnya wajib menurut Syari’at. Adapun hadiah-hadiah yang bersifat tidak langgeng seperti makanan, maka hukumnya tidak wajib diganti, sedangkan sesuatu yang bersifat langgeng seperti jam tangan, cincin emas dan gelang, maka wajib dikembalikan apabila pembatalan tunangan tersebut diminta dari pihak perempuan. Jika pembtalan tunangan tersebut dari pihak laki-laki atau disebabkan kematian maka tidak wajib mengembalikannya.
Tetapi sebagai orang yang bermoral tinggi dan bermartabat luhur, hendaknya kita tidak pernah meminta kembali sesuatu sesuatu yang telah kita berikan kepada seseorang; karena seorang yang meminta pemberiannya kembali sama halnya dengan anjing yang memakan utah-utahannya sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW.
Semoga Bermanfaat Bagi Sobat Blogger, Amiin ....