Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

REFLEKSI HARI KARTINI

MENGEMBALIKAN HAK - HAK PEREMPUAN
( RA. Kartini )
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, hak-hak kemanusiaan, sosial dan kezaliman terhadap wanita tercatat selalu saja diremehkan. Bahkan sebelum revolusi industri di Eropa bergelora, wanita seakan tak memiliki hak sosial dan politik yang memadai. Ia tak ubahnya sebatas objek pemuas lelaki saja. Penghargaan manusia lainnya terhadap wanita hanya tergambar dalam lekak-lekuk keindahan tubuhnya saja. Sementara ide, pikiran dan hak-haknya terpenjara budaya, sistem dan agama. Anehnya, para pemuka agama kala itu menjustifikasi ketidakadilan terhadap perempuan justru dengan alasan teologis.

Jauh sebelumnya, tepatnya pada zaman jahiliyah di Jazirah Arab sana, kondisinya bahkan lebih mengkhawatirkan. Wanita seakan tak memiliki kesempatan untuk bisa hidup seutuhnya. Bagi penduduk di sana, memiliki anak perempuan dianggap sebagai sebuah aib. Karena tidak membawa manfaat yang lebih dari sekadar persoalan reproduksi dan seksualitas belaka. Aktivitas perdagangan, berburu dan berperang sebagai jalan utama untuk meraih kesejahteraan hidup meniscayakan adanya dukungan kejantanan, yang tentu saja hanya ada dalam tubuh seorang laki-laki. Untuk itu, bila para istri mereka melahirkan anak perempuan, maka menguburnya hidup-hidup menjadi pilihan yang lebih baik, ketimbang menanggung malu dan beban yang berat.
REFLEKSI HARI KARTINI
Sampai akhirnya muncullah sosok Muhammad, tokoh emansipasi yang membuat perempuan kembali mendapatkan hak-haknya. Muhammad menempatkan perempuan dalam derajat tertingginya sepanjang masa. Hal itu terlihat dalam berbagai pernyataan beliau yang mengatakan, bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu. Atau saat beliau ditanya oleh masyarakat Arab, perihal kepada siapa hendaknya manusia menambatkan baktinya? Muhammad pun menjawab; “ibumu, ibumu, ibumu, dan barulah pada keempat kalinya ia sebut bapakmu”.

Duhai sungguh mulianya seorang perempuan, sampai-sampai Muhammad mengatakan wanita itu laksana lukluil maknuun…….ia seumpama intan yang berkilauan. Ia pun tak pernah berkata kasar pada perempuan. Di sisi lain, Muhammad juga memberi kesempatan kepada perempuan untuk mandiri dan berdaya juang tinggi. Bentuk penghargaan Muhammad pada seorang perempuan yang mandiri dan berdaya juang tinggi adalah dengan memperistri Khadizah. Seorang pedagang perempuan yang dermawan dan menghargai kejujuran.

Sayang, dalam perjalanan selanjutnya, perempuan kembali kehilangan hak-haknya. Karena adanya pemahaman terhadap teks-teks agama secara tekstual, maka tafsir keagamaan pun menjadi milik para lelaki. Episode keterkungkungan perempuan pun kembali dimulai dan bertahan cukup lama. Hingga akhirnya, pergerakan wanita pun mulai menemui era barunya pasca perang dunia di era 70-an. Di era inilah kemudian lahir gerakan feminisme. Yang kemudian berkembang sedemikian rupa, bermetamorfosis menjadi beragam gerakan terutama setelah bersentuhan dengan kebudayaan lokal sebuah negara.

Para feminis berkeyakinan  jika laki-laki dan perempuan sebetulnya memiliki posisi dan hak yang sama. Untuk itu, apa pun dan siapa pun tak selayaknya mengingkari kenyataan tersebut. Sejak saat itu, dimulai babak baru kehidupan perempuan di dunia. Ide-ide kesetaraan gender pun menggema di mana-mana.

REFLEKSI HARI KARTINI

Di Indonesia sendiri, perjuangan untuk menegakkan hak-hak perempuan dimulai sejak tahun 1908 oleh RA Kartini. Meski pada awalnya baru sebatas perjuangan individual, namun tatkala perjuangannya tersebut ia tuangkan dalam surat-surat yang dibuat dan ditulis untuk sahabat-sahabatnya di Eropa, perjuangan RA Kartini pun menginspirasi banyak orang. Surat-surat tersebut berisi tentang curhatan dan upaya mencari pertolongan dari luar terhadap apa yang menimpa wanita Jawa seperti dirinya. Bahwa wanita Jawa sepertinya teramat sulit untuk keluar dari kungkungan tradisi. Keinginan untuk terus meniti ilmu di dunia pendidikan menjadi teramat sulit. Terlebih wanita Jawa saat itu terpaksa harus menuruti kehendak orangtua untuk dinikahkan dengan orang pilihan dan harus siap untuk dimadu. Padahal, tak satu pun wanita di dunia ini yang rela dimadu. Sebagai manusia biasa, Kartini merasa tak mampu berbuat apa-apa selain menulis surat-surat itu. Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda oleh Mr. J. H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht. Tahun 1922, melalui balai Pustaka, sastrawan Arjmin Pane menterjemahkannya dalam bahasa melayu, dan diberi judul, “Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran.”

Buku tersebut, kemudian menginspirasi banyak orang. Hingga akhirnya, semangat perjuangan RA Kartini pun ditindaklanjuti dengan diadakannya Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928. Momentum yang selanjutnya biasa kita peringati sebagai hari ibu. Momentum yang juga ikut menginspirasi didirikannya Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI).

Sebagai masyarakat yang multikultural; baik etnis maupun agama, masyarakat Indonesia memiliki sejumlah persoalan terkait perempuan dan sejumlah variable yang melekat dalam dirinya tersebut. Terutama dengan adanya globalisasi, yang telah membuat hampir seluruh persoalan hidup kita menjadi sangat dilematis.

Mencomot istilahnya Anthony Giddens, bahwa dunia kita saat ini telah lepas kendali, runaway world. Globalisasi benar-benar telah mengubah dunia kita jauh dari perkiraan semula. Seperti yang telah dinubuatkan oleh optimisne Barat di Abad pencerahan, bahwa rasionalitas ilmu pengetahuan yang dilantunkannya akan berbuah kestabilan, ketertiban dan keterprediksian hidup. Namun nyatanya, dunia kita saat ini benar-benar telah berada jauh di luar kendali kita (Giddens: Run Away World, 2001).

Kata kuncinya memang ada pada globalisasi, sebagai anak emas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi—seperti yang bisa kita saksikan saat ini—globalisasi memang telah melahirkan beragam risiko tak terduga dan ketidakpastian yang melampaui kemampuan antisipasi kita. Perubahan yang dahsyat ini telah mendekonstruksi tradisi yang telah menjadi pegangan banyak orang saat ini. Membuat hampir seluruh sisi kehidupan kita menjadi sangat dilematis; baik persoalan agama, politik, ekonomi atau bahkan persolan yang terkait institusi sosial terendah dalam hidup kita yakni keluarga. Ia menjadi dunia yang sangat mengkhawatirkan.

 Ya, di antara berbagai perubahan yang terjadi di dunia saat ini, tidak ada perubahan yang lebih mengkhawatirkan daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita; baik persoalan seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan dan keluarga. Dalam semua hal tersebut, kini telah terjadi sebuah revolusi global yang tengah berusaha mengubah bagaimana cara kita memahami diri kita dan bagaimana kita membangun ikatan dengan orang lain.

Dalam hal ini, kemajuan teknologi informasi telah memberi kontribusi terbesarnya untuk memainkan peran tersebut, disamping kontribusi besar lainnya tentu saja untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, inilah yang mungkin disebut Fazlurrahman sebagai genus faced, atau dua muka dari kemajuan teknologi informasi di zaman kita. Karena selain memberi dampak yang positif, ia juga memberi dampak yang negatif.

Sebut saja misalnya yang terbaru dalam kehidupan kita saat ini, yaitu perkembangan jejaring sosial. Satu sisi ia memang mempermudah banyak hal, terutama komunikasi, informasi dan pertemanan. Namun sisi lain, ia ternyata juga merambah sisi emosi kita. Dimana komunikasi beserta turunannya tersebut dibuatnya menjadi lebih sederhana dan memberi kesan emosional yang berbeda. Satu hal bahwa, komunikasi verbal, yang melibatkan kehadiran fisik kita akan memberikan kesan emosi yang yang tentu saja berbeda dengan bentuk komunikasi non verbal; dalam bentuk sms, chatting ataupun email. Silaturrahmi, sebagai pengikat kohesivitas sosial masyarakat kita menjadi terasa lebih sederhana dan hambar. Sementara individu-individu pun menjadi lebih acuh; karena terlampau asyik dengan gadgetnya masing-masing. Bila dahulu ada istilah dalam keadaan senediri kita membaca, berdua kita diskusi, dan bertiga kita bergerak, tak lagi relevan dengan kehidupan sosial ita saat ini. Baik sendiri, berdua atau berapapun jumlahnya tetap saja, manusia-manusia sekarang lebih senang memainkan alat komunikasinya.

Celakanya, fenomena ini telah mengusik posisi Tuhan sebagai tempat berserah diri, memohon, berdoa dan curhat. Seolah-olah hadir objek lain yang mengambil fungsi dan peran Tuhan tersebut. Lihatlah bagaimana ekspresi perasaan atau status di sejumah media jejaring sosial yang ada, isinya hampir semua berupa permohonan, doa dan curhatan.

Kulminasinya, keintiman yang disebut Giddens sebagai poin utama dalam proses komunikasi, sosialisasi dan ikatan keluarga menjadi hilang, saat orang mulai mengenal teknologi informasi. Keintiman, juga mendapat tafsir berbeda dari manusia zaman sekarang, tatkala ia meletakannya dalam persoalan seksualitas. Lebih lanjut, Anthony Giddens menyebutkan bila saat ini telah muncul fenomena seksualitas plastis. Sebuah revolusi seksualitas yang meniscayakan bahwa variabel-variabel yang melekat dalam kata seksualitas, seperti hubungan suami istri, reproduksi dan utamanya kenikmatan seks tak lagi hanya bisa dinikmati secara tradisional. Namun ada hal baru yang dapat menggantikan perannya. Dalam bahasa yang lebih vulgar orang sekarang biasa mengatakan, bahwa seks bisa dinikmati tanpa harus ada ikatan perkawinan. Atau bahkan yang lebih ekstrim lagi, bahwa seks bisa dinikmati tanpa harus adanya pasangan yang berbeda secara gender, namun pasangan yang sama gender pun bisa. Atau bahkan tanpa pasangan pun yang namanya seks dapat dinikmati. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil, dengan adanya kemajuan teknologi kini, seks pun bisa dinikmati dengan berbagai cara.

Lalu terkait ikatan perkawinan, revolusi seksualitas saat ini telah mengubah persepsi banyak orang tentang ikatan perkawinan. Bahwa ia tak lagi menjadi sebuah ikatan sakral yang merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kenikmatan seksual dan terutama melakukan proses reproduksi. Rumus sederhananya, tak perlu ada pernikahan bila hanya sekadar untuk memiliki anak. Masih ada jalan lain; bisa adopsi, bayi tabung atau melakukan hubungan seksual di luar penikahan pun sudah lazim. Pada puncaknya, karena ikatan pernikahan menjadi tidak sakral lagi, maka perceraian pun pada akhirnya menjadi sesuatu yang gampang dilakukan tatkala sepasang manusia sudah mengalami kebosanan dan tidak mendapatkan kecocokan lagi. Demikianlah, globalisasi, terutama kemajuan teknologi telah mengubah tradisi kehidupan sosial dan pribadi kita saat ini.

Kondisi seperti ini, tentu saja amat mengkhawatirkan. Banyak pihak terutama kaum agamawan mengalami kebingunan, ketika aspek moral yang ia lantunkan tak lagi didengar orang. Akhirnya, harapan satu-satunya memang bertumpu pada aspek formalnya. Ya, tumpuan kita memang ada pada aspek yang mungkin paling dibenci oleh orang-orang yang memuja kebebasan.

Tanpa bermaksud larut dalam perdebatan tersebut, namun hemat penulis persoalan apa pun yang bersentuhan dengan persoalan ruang publik, dan karena ruang publik menjadi ranah negara, maka penyelesaiannya harus diletakkan dalam konteks negara hukum. Dimana Negara memiliki peranan tertinggi dalam hal tersebut. Dalam negara hukum, maka apa pun; baik itu kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, hak mengeluarkan pendapat, hak hidup dan termasuk hak-hak perempuan harus diperjuangkan melalui jalur hukum. Cara-cara yang menyalahi hukum, apalagi menggunakan kekerasan baik fisik maupun non fisik merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, dan pelanggaran pada komitmen kenegaraan.

Seperti Nabi Muhammad atau Kartini, kita atau siapa pun yang saat ini peduli dengan sekelumit persoalan yang menimpa kaum perempuan sejatinya mulai tergerak untuk melakukan upaya apa pun untuk mengembalikan hak-hak kaum perempuan yang telah dihimpit dan teraniyaya secara budaya, sosial, ekonomi dan terutama hukum. Perjuangan tanpa henti hingga kaum perempuan kembali pada derajat tertingginya. Selamat Hari Kartini!